Mengapa kami memilih pulang ke Indonesia?

“RESIKO!” itulah kata yang muncul di benak saya saat tidak bersedia menandatangani kontrak ikatan dinas 9 tahun (2n+1) dari institusi lama saya saat akan berangkat S3 dulu. ‘Resiko’ karena saya sendiri saat itu tidak memiliki pekerjaan selain sebagai dosen di perguruan tinggi swasta yg terhitung besar di Yogya, dengan penghasilan yg lumayan juga jika dibandingkan dengan PTS-PTS lainnya. ‘Resiko’ karena isteri saya pun belum memiliki pekerjaan meski ia seorang dokter. ‘Resiko’ karena kami telah memiliki 2 anak yang akan menuntut biaya yang tidak sedikit. ‘Resiko’ karena jelas mencari pekerjaan yang baik di Indonesia tidaklah mudah, sementara tekanan sosial (khususnya dari keluarga) bahwa pendidikan yg tinggi semestinya memperoleh pekerjaan yang mapan dan baik. ‘Resiko’ karena akan ada banyak orang yang tidak puas dengan keputusan saya karena memang setiap manajemen menghendaki SDM nya untuk ‘manut’ apa adanya. ‘Resiko’ karena saya bisa kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran bergelar PhD luar negeri sepulang nanti. ‘Resiko’ karena isteri dan keluarga akan stress menghadapi ketidak-pastian situasi. Tetapi mengapa saya tetap mengambil keputusan BESAR itu (besar bagi saya) meski sederet resiko dihadapkan di muka saya?

Terus terang, saat keputusan itu diambil saya hanya pada posisi tidak ingin diikat. Ingatan segar saudara saya yang di-PHK sepihak oleh universitas swasta di Yogyakarta dengan alasan pengurangan 50% karyawannya menyadarkan saya betapa lemahnya posisi seorang karyawan, khususnya dosen di PTS di Indonesia. Sungguh Tidak Fair, di satu sisi Perguruan Tinggi boleh mem-PHK sewaktu-waktu karyawannya dengan berbagai alasan, sedangkan disisi yg lain seorang karyawan Tidak Boleh berpindah kerja meski  membaca institusinya sudah limbung dan mungkin akan memPHK dia suatu hari. Situasi ini yang membuat saya tidak berani terikat meski juga belum berniat mencari pekerjaan yang lain. Sayangnya keputusan harus diambil, resiko harus diambil..saat setumpuk dokumen kontrak diserahkan dihadapan.

“Udah tanda-tangani saja..urusan belakangan!” teriak seorang teman saya yang sedang belajar di negeri seberang. “Bukan begitu prinsip hidup saya” jawab saya dalam hati, tanpa menjawab dia secara tulisan. Bagi saya, dulu jika saya telah menyatakan “Cinta” kepada seorang gadis, maka pantang bagi saya memutusnya 🙂 (jadi saya yang diputus cinta bukan saya yang secara sepihak memutus). Begitu juga dalam hal pekerjaan, jika saya telah berjanji dengan menandatangani sesuatu maka insyaAlloh pantang buat saya untuk melanggarnya. Lebih baik dibenci karena tidak berjanji, daripada berjanji tapi tidak menepati…jika telah berjanji maka insyaAlloh semaksimal mungkin menepatinya.

Resiko itu kejadian juga, namun saya pun mengerti…untuk win-win solution, saya pun akhirnya tidak digaji dan tidak ada jaminan sepulang nanti saya masih diterima bekerja. Mulailah kebimbangan itu muncul. Sementara di sini di luar negeri (di Australia dan Arab Saudi) diri ini masih dihargai, sementara mencari syarat2 administratif pekerjaan di Indonesia rasanya ‘dipersulit’. Nimbrung di sebuah diskusi tentang expatriat saya sampaikan begitu banyak sistem Indonesia yang membuat anak-anak bangsa yang ingin kembali dan berbakti kepada negeri akhirnya mengurungkan diri karena sulit diterima di negeri sendiri, sementara negeri orang menghargainya berpuluh-puluh kali.  Jujur saat itu, saat income rekening gaji saya menunjukkan Rp 0,- dan semakin kuatnya gambar Tony PhD (pengangguran) di Indonesia semakin mencambuk tekad saya untuk survival melatih ketrampilan diri & networking bekerja di Australia, Malaysia, atau Saudi, dan tidak berharap lagi kepada institusi di negeri sendiri. Saya telah bertekad tidak ada pilihan lain selain menjadi Permanent Resident di Australia, dengan sebelumnya bekerja di Malaysia atau Saudi selama 2 tahun!

Alloh yang Maha Kuasa…Dia pula yang menunjukkan dan membukakan jalan. Agustus 2008, institusi sekarang saya membuka pintu bahkan memfasilitasi berbagai persyaratan administrasi saya agar saya kembali ke Indonesia. Bagi saya..ini hal yang sangat luar biasa, meski banyak orang saat itu mengatakan berbagai PTN favorite di Indonesia sebenarnya memang sedang ‘berburu’ SDM-SDM PhD Indonesia di luar negeri. Entahlah, yang pasti saya merasa dihargai dan difasilitasi untuk bermanfaat bagi negeri saya. Yang lebih hebat lagi, saat menjelang pengumuman penerimaan saya sebagai CPNS di institusi ini, pejabat SDMnya mengatakan kepada saya, “Mas Tony…sebenarnya resiko bagi kami untuk tidak meminta mas menandatangani perjanjian untuk kembali setelah PhD nanti..karena telah ada kejadian sebelumnya dosen yang sekolah tidak kembali (namun kami mempercayai mas Tony)”….Duar!!!…itu kalimat yang luar biasa bagi saya. Entahlah..saya orang Jawa & saya muslim, bagi saya ungkapan kepercayaan itu lebih mengikat hati saya melebihi tulisan kontrak. Dalam filosofi Jawa, saya merasa di’pangku’..dan huruf jawa jika di’pangku’ akan ‘mati’. Itulah mengapa akhirnya kami memutuskan kembali ke Indonesia.

Kami memutuskan kembali ke Indonesia, meski kami yakin kehidupan kami di Australia insyaAlloh lebih nyaman dan lebih mudah. Kami memutuskan kembali ke Indonesia meski kami yakin insyaAlloh point aplikasi kami sebagai Permanent Resident (jika kami apply) telah jauh memenuhi karena isteri saya dokter dan Master lulusan Australia dan telah berkerja sebagai “PNS” di South Australia dan saya telah mempunyai pekerjaan & networking bekerja untuk Flinders & Northern Territory. Kami tetap memutuskan kembali ke Indonesia, meski kami sadar hidup di Indonesia akan kami mulai kembali dari mengontrak rumah dan membeli perabotan awal. Kami memutuskan kembali ke Indonesia karena kami bercanda kami memilih hidup di Indonesia dan rekreasi ke luarnegeri daripada tinggal di luar negri dan piknik ke Indonesia. Kami pulang dan memilih hidup di Indonesia karena orang tua kami telah lanjut dan berharap kami dapat menjadi anak yang berbakti dengan keterbatasan kami. Kami pulang ke Indonesia karena kami lebih memilih anak-anak kami mendapatkan pendidikan aqidah yang kuat daripada sekedar IQ dan materi di luar negeri. Kami pulang ke Indonesia karena kami punya tekad & mimpi kuat untuk lebih BERMANFAAT.

Tulisan ini saya buat untuk sekedar mengingatkan saya kembali setiap saat, bahwa ada alasan kuat mengapa saya kembali, mengapa saya tidak memilih kenyamanan di negeri orang, dan mengapa saya harus beribadah maksimal di Indonesia sepulang nanti. Akhirnya…mengutip kalimat hikmah dari Prof. Firmanzah PhD, dekan & profesor termuda di UI dan Indonesia, 34 tahun, yang menolak tawaran kenyamanan hidup sbg dosen tetap di Perancis & dosen terbang di Maroko&UK serta memilih pulang ke Indonesia:

“Ada
banyak hal yang bisa dilakukan disini(Indonesia) & itu akan Lebih
Berarti,krn Hidup ternyata Tidak Hanya Mencari keNyamanan”

23 Responses

  1. inspiring..

    semangat terus Pak.. 🙂

  2. Setuju Pak Tony, seandainya bukan demi akhirat, saya juga mau hidup di negeri maju yg serba enak. Tapi bgmn pendidikan keislaman anak kita kelak?Sangat berat mendidik anak dg keislaman yg baik bila bukan di tengah lingkungan islami, makanya saya tetap berkomitmen tinggal di indonesia.

    • @Kosha: thanks!…@m Dani:Alhamdulillaah saat Alloh memberi keleluasaan utk memilih, smg dipermudah Alloh amiin 🙂

  3. salut pak tony..dunia PNS di Indonesia butuh banyak orang seperti bapak..niat yg tulus & tekad yg kuat..semoga sukses ya..salam buat mbak-nya

  4. secara jujur, saya menantikan kelanjutan dari cerita koma ini..kunantikan ya Mas Tony pelita hati, saya juga akan melompat untuk lompatan impian, segera Biidznilah:)

    • mas Ilham makasih…mudah2an “titik” nya masih lama agar umur saya panjang, barokah, & manfaat..amiin…ya udah sekarang mas latihan lompat2 dulu! sukses juga buat mas Ilham 🙂

  5. keren Mas, benar2 menyentuh. refleksi sampeyan ini membantuku kembali menemukan titik cerah dalam meniti hari esok. thanks sedulur 🙂

  6. Insya Allah, menjadi ibadah Brother…

  7. Wah, sangat berkesan, Diperlukan banyak orang seperti Mas bagi Indonesia yang kadang miskin idealisme ini.
    Sayang tidak sempat bertatap muka di adelaide karena saya baru akan tiba lagi minggu depan setelah tahun lalu hanya sempat 3 bulan di sana. Semoga sukses

    Pande
    http://inilahkesmas.wordpress.com

    • suwun bli Pande…semoga berkesempatan bertemu & bersilaturahmi juga dengan bli one day in somewhere ..sukses buat bli Pande juga!

  8. selamat menempuh fase hidup baru……semoga sepulang ke Indonesia nanti mendapat tempat yg cocok untuk berkarya….

    btw trims panduannya dulu…saya sdh sampai di saudi….

  9. Mas Tony, It will also happend to my family when we finish our study here. We want to go back to Indonesa. One of the reasons among others is we want to get closer to Allah SWT. As all we know, this country is not falicitating moslem workers to have their prayer. Seems we can’t do the solem prayer, we just do it as it is and we even do it in the dirty place. It’s so sad. But, we’re still able to pray in this condition. Di kebun pun kami tetap sholat Alhamdulillah….Dan niat kami, kalau kami pulang nanti Isya Allah, kami akan lebih memperbanyak Ibadah sunnah yang selama ini tidak bisa kita lakukan. Sekarang hanya yang wajib saja yang bisa terlaksana dan sekali2 sunnah tahadjud. Good luck for you…

    • makasih mbak Rina..mudah2an dilapangkan Allah selalu utk kita semua..Good luck buat mbak Rina sekeluarga juga ya! 🙂

  10. keren habis, saya sampe terharu membacanya

  11. niat yg sangat baik pak,
    saya jd ingat tman saya, yg brada di luar negeri.
    apakah dia akan plg ke indonesia untk memberikan ilmunya kepada saya yang sangt minim ilmu pengetahuan.
    smga tman saya bisa mengambil keptusan seperti bapak.

  12. Pengalaman yg mirip, lulus PhD belanda sekarang sudah permanent resident 10thn di blda. Ingin sekali back for good ke Indo dan lebih bermanfaat di Indo tapi belum ada jalan. Mungkin seperti pak Firmanzah terbuka jalan sebelum pulang karena UI sudah merekrut dan akan diangkat. Ketakutan resign pulang, ga dapet kerja di indo yang sesuai.

  13. Dulu setelah lulus PhD, saya benar-benar ragu apakah apa akan stay di Eropa atau balik ke Indonesia.

    -Di Eropa pasti jadi kacung tapi hidup tenang di negeri yang indah, gemah ripah loh jinawi.

    -Di Indonesia pasti jadi juragan tapi hidup penuh tantangan luar biasa di negeri yang kacau balau.

    pikir, pikir, pikir, pikir…. kemudian tiba-tiba cobaan datang, ayah meninggal. Kasihan ibu saya sendirian di tanah air.

    Akhirnya saya milih jadi juragan saja di Indonesia, dan so far…..

    UENAKAN DADI JURAGAN DARIPADA KACUNG REK hehehe…

Leave a reply to Anargya Cancel reply